Terkadang aku harus menepis segala rasa itu, rasa keingin-tahuanku tentangnya setelah segalanya berubah.Terakhir hanya kata penyesalan yang terlontar dari dia. Naif, ironis, sadis, sedihku dan kecewaku bercampur jadi satu. Ingin aku memaki dan mencacinya yang seolah-olah tak mau tahu dan tak menghargaiku sama sekali. Egois..!
Tapi sudahlah ibarat nasi telah menjadi bubur. Setiap orang punya sisi gelap dalam kehidupannya masing-masing, begitu pun aku dengan segala kekurangan dan kekhilafanku. Terkadang terpikir olehku opsi seandainya aku harus memilih meninggalkan semua itu, dan kembali di kehidupanku yang nyata. Tapi tak terperikan beraaaaatnya, dan ternyata tidak sesederhana emosiku. Jika saja aku bisa terbang bebas menentukan langkah hidupku sendiri, maka akan ku bawa semua kesalahanku tunai.
Kesalahan-kesalahanku yang sudah dimeja-hijaukannya namun dia batalkan sendiri. Apakah itu sebuah anugerah bagiku? Bisa iya jawabnya, jika saja dia ikhlas menerima ku apa adanya. Tanpa bumbu intimidasi, karena aku togh tidak bisa melarangnya untuk tidak selalu mencurigaiku, namun biarlah air itu tetap mengalir tenang, karena hanya di air yang tenanglah kita bisa melihat apa sebenarnya yang ada di dasarnya.
Berpisah dengannya – sesakit apapun mungkin aku sanggup.Tapi aku tak akan sanggup berpisah dengan para malaikat belahan jiwa kami. Sampai sekarang dengan ikhtiar yang terseok-seok, aku menerima deraan vonis yang de jure telah dicabutnya namun de facto masih ku rasakan pada cara memperlakukanku. Ku coba menerima siksaan ini utuh, ku hanya selalu memohon ampun dan memasrahkan segalanya kembali kepada Yang Maha Mengatur.
Ya Allah.. ya..Rabii..... buang segala prasangka buruknya tentangku, bukakan pintu keikhlasan untuk memaafkan dan menerimaku kembali dgn segala penyesalanku dan segala kekurangan diriku. Kembalikan kasih sayangnya tanpa ada rasa curiga dan cemburu yang tak beralasan. Buang segala dendam, gantikan dengan segala keikhlasannya. Selamatkan dan bahagiakan lahir batin, dunia akhirat rumah tangga kami. Itulah do'a yang selalu terucap ketika aku bersimpuh menghadap-Nya, bahkan kadang doa-doa itu tak terucap lagi dengan kata-kata, karena telah menyatu dengan tetesan air mata ku “Tolonglah aku, bukalah pintu hatinya Ya Allah..Ya Rahman Ya Rahim...”
Setelah sekian waktu semoga doa-doaku terjawab oleh-Mu ya Tuhan. Walau pun aku masih bisa merasakan pandangan mata dingin itu, tapi Alhamdullillah segalanya berangsur-angsur pulih walaupun terkadang sakit sekali, kutahan semuanya dengan segala kesadaranku. Aku seakan sedang berdiri di tengah-tengah peperangan di hatinya. Jika yang lebih menang kasih sayangnya maka yang kurasakan akan lebih indah dari yang dulu sebelum prahara, namun jika yang lebih menang dendamnya maka segala sakit harus kutahankan dengan kucuran air mata hatiku.
Jika keikhlasannya sedang singgah di hatinya, aku merasakan kasih sayangnya bagai surga dunia. Teringat saat mereguk kenikmatan surga dunia bersamanya, luar biasa nikmatnya. Sesuatu yang sebelumnya belum pernah aku rasakan sekian waktu bersamanya. Bahkan aku menjadi sangat-sangat menyesal atas kekhilafanku sendiri. Tapi semua sudah terjadi, aku telah menghujamkan pisau tajam bertubi-tubi di hatinya, semoga aku mampu mengobatinya lagi. Aku bisa merasakan luka itu dari pandangan matanya.
Aku tidak lagi memikirkan perasaanku dan segala kepentinganku. Kutepis segala rasa sakit demi masa depan bahtera kami. Kadang lelah jiwa ini, lelah hati ini... namun demi bahtera yang pernah susah payah kami bangun aku harus rela untuk mengubur segala kesenanganku sementara atau bahkan selamanya.
Karena ku yakin esok kan lebih baik untuk kami.
Met kenal...
Postingan yang bagus...
Terima kasih sudah berkunjung ke blog saya..